Thursday 21 August 2014

Jangan Dibiarkan Mati

Kenapa aku mulai menulis lagi?
Aku telah banyak menulis sebelumnya. Sejak kecil. Sejak umur belasan tahun. Bakat ini kudapat dari ayah. Dia seorang penulis puisi, drama, sutradara (drama kecil di gereja maupun yang biasa dipentaskan di umum). Sejak kecil puisi telah menjadi bagian yang melekat pada diriku. Aku telah memenangkan banyak lomba membaca dan menulis puisi, bermain peran berulangkali dalam drama gereja. Ayahku selalu bilang, jikalau kamu memiliki bakat teruslah asah, jangan dibiarkan tumpul apalagi mati. Dia selalu mendorongku untuk menulis puisi, walau aku lebih sering tidak mengindahkannya. Aku hanya mencipta disaat aku ingin atau apabila itu menguntungkan. Terakhir kali aku menulis puisi disaat aku hendak mengikuti lomba, hasilnya tidak buruk, aku bahkan meraih juara pertama. Setelah itu aku terlalu sibuk dengan kehidupan remajaku, aku lebih suka menghabiskan waktu bersama teman-teman, membaca komik, dan hal-hal lain yang kuanggap lebih penting dan menarik. Ayahku juga tidak lagi terlalu memaksa, baginya aku sudah cukup dewasa untuk bisa melakukan apa yang kusukai, jika aku memang tidak terlalu suka menulis maka baginya itu pilihan yang bisa kuambil sendiri. Seiring berjalannya waktu aku mulai ingin menulis cerpen. Berawal dari hobiku membaca majalah anak muda yang mana aku bisa mengirimkan hasil cerpenku, dan jika dimuat akan menerima bayaran. Aku mulai menulis dan menyelesaikan cerpen pertamaku berjudul "More Than Words". Tidak terlalu buruk menurutku, aku pun mengirimnya ke beberapa majalah berharap karyaku akan dimuat. Setelah itu aku mulai menulis lagi dan menyelesaikan cerpen keduaku berjudul "Kamu Berubah, Ben" tapi belum pernah kukirim karena aku merasa belum cukup pantas. Aku mulai menulis lagi tapi tidak pernah sampai selesai, singkatnya aku baru pernah menyelesaikan dua buah cerpen. Ide-ideku selalu tercekat di tengah maupun di awal aku mulai menulis, aku lebih banyak menyerah dan akhirnya melupakannya. Banyak kali aku membaca karya tulisan orang lain dan aku iri dengan dedikasi dan komitmen mereka, mereka bisa menulis hingga akhir, bahkan bukan sekedar cerpen yang hanya sebatas 3-5 halaman, mereka bahkan bisa membuat novel. Itu sangat membuatku cemburu. Aku pun hanya bisa memendam mimpi itu dalam semangat-semangat kecil yang terkadang muncul di kepalaku, yang bilang "Ceasy, kamu juga bisa", tapi lalu menghilang untuk waktu yang lama. Hingga akhirnya kemarin aku bertemu Ceca, dia juga adalah seorang penulis, dia pernah bekerja sebagai jurnalis sebuah majalah game. Ceritanya tentang bagaimana dia sangat suka menulis membuat semangat-semangat kecilku menemukan jalannya kembali. Aku ingat untuk tidak lagi membiarkan bakatku ini mati kekeringan. Meskipun karyaku tidak akan sampai selevel dengan penulis penulis dunia tapi setidaknya aku tidak menguburnya di pulau terpencil dan lalu pergi tanpa menoleh lagi. Bakatku ini adalah identitasku juga. Setidaknya aku merasa hidup dan berbeda disaat aku menulis, aku bukan cuman Ceasy yang sekedar memenuhi planet bumi, aku bukan cuman Ceasy yang sekedar ada, aku bukan cuman Ceasy yang tidak terdeteksi. Aku Ceasy yang suka menulis dan ingin terus menulis. Aku Ceasy yang ingin berkarya. Aku Ceasy yang lain.

No comments:

Post a Comment