Saturday 20 December 2014

Momen-momen Kecil #1

Kebanyakan orang pasti pernah membolos, bahkan ada yang menjadikan bolos sebagai kegiatan rutin. Sensasi membolos baru pernah aku rasakan dan aku coba saat duduk di kelas 3 SMP. Kalau diingat-ingat itu kejadian yang cukup lucu dan polos. Aku hanya ingin membagikannya karena aku tidak ingin momen itu kusimpan sendiri dan sebelum aku pernah membagikannya aku sudah meninggal. 

Saat itu sekolahku seperti kebanyakan sekolah lain mengadakan kelas persiapan menghadapi ujian bagi murid-murid kelas 3. Entah mereka yang tidak peduli atau bagaimana, maksudku bahkan kami (tidak semua) tidak terlalu menyukai kelas regular yang harus kami ikuti setiap hari (Senin-Sabtu, kalau saja ada yang tidak tahu), bagaimana bisa dengan tanpa perasaan mereka memberi kami kelas tambahan. Seakan mereka memotong waktu bermainku dan teman-temanku, ini termasuk membaca kliping majalah anak muda di perpustakaan daerah dan merobek gambar aktor/artis favorit dan artikel menarik, mengunjungi warnet dan mencari informasi tentang selebriti luar negeri, membaca komik gratis di toko buku Gr*media, wisata kuliner murah meriah, mengunjungi toko aksesoris favorit kami (Louise Art Shop) karena ada anak pemilik tokonya yang tampan, berkeliling kota dengan angkutan umum yang super heboh, dan masih banyak kegiatan sederhana lain yang membawa kesenangan bagi kami. Sungguh tidak berperasaan (menurutku). 

Setiap sekolah pasti memiliki satu atau beberapa guru yang paling ditakuti, yang akan diberi gelar 'kehormatan', KILLER. Hari itu, salah satu dari beberapa guru killer yang dimiliki sekolahku mendapat jadwal mengajar di kelas tambahanku. Dia seorang guru Bahasa Inggris yang juga adalah seorang Wakil Kepala Sekolah. Aku dan sahabatku, Raisa, memutuskan membolos di hari itu. Sambil menuliskan ini aku mencoba memikirkan jawaban dari pertanyaan 'Mengapa kami membolos saat Pak Suban yang mengajar?' Apakah kami hanya ingin pamer kalau kamu cukup berani untuk membolos dari kelasnya? Sebegitu membosankankah kelasnya sehingga kami membolos? Atau karena kemungkinan sensasi membolos dari kelasnya akan lebih kuat dan membuat kami bisa menjadikan itu salah satu sejarah masa muda terhebat yang pernah kami miliki dan bisa kami ingat sepanjang hidup kami. Entahlah. Mungkin saja ketiga kemungkinan jawaban itu merupakan keseluruhan jawabannya. 

Raisa, sahabatku (kami masih bersahabat hingga hari ini, tadi pagi dia baru saja mengirimkan pesan singkat bahwa dia akan mengikuti tes psikotes untuk bisa bekerja di salah satu bank di kota tempat tinggalnya, Kupang, dan memintaku mendukungnya dengan doa-aku harap dia berhasil) telah lebih dahulu mencicipi asam garam dunia bolos-membolos, dia sudah lebih ahli dalam hal ini. Tapi itu tidak membuatnya menjadi planner utama dari aksi kami. Kami berdua sama-sama merencanakannya, kami telah memikirkan tempat-tempat yang akan kami datangi setelah berhasil melewati gerbang utama sekolah. Tentu saja, Louise Art Shop masuk dalam list kami. Keluar dari sekolah kami bukanlah hal yang terlalu sulit: (1) semua guru sudah akan sibuk menuju kelas tempat mereka mengajar kelas tambahan sesaat setelah bel tanda mulai berbunyi (2) gerbang sekolah kami selalu terbuka lebar tanpa diawasi security (3) bentuk sekolahku yang lebih terpusat ke arah dalam membuat sulit bagi orang lain untuk bisa melihat adanya pergerakan yang dilakukan secara diam-diam. Aku dan Raisa telah berdiri di lorong sekolah menunggu kelas tambahan dimulai, saat kami mulai mendengar suara beberapa orang guru yang mau memulai kelasnya kami pun mulai pelan-pelan sambil sedikit berlari menyusuri tembok kelas yang paling dekat posisinya dengan gerbang sekolah. Sesampainya di ujung tembok kelas tersebut kami mulai melihat keadaan sekitar gerbang kalau-kalau ada guru yang mengenali kami berkeliaran, kami menghindari mereka karena kami ingin berpura-pura menjadi adik kelas yang baru saja pulang dan berbaur dengan adik kelas yang sesungguhnya. Walaupun kami cukup terkenal di sekolah (sedikit sombong) tapi kami mesti tetap berhati-hati. Setelah yakin bahwa keadaannya aman kami pun berusaha bersikap tenang dan berjalan keluar gerbang seakan kami baru saja pulang. Kami sedikit gugup dan berharap nama kami tidak dipanggil sebelum kami keluar melewati gerbang. Perjalanan melewati gerbang terasa lebih jauh dari biasanya karena keinginan kami untuk bisa segera keluar. Kami berhasil.

Setelah melewati gerbang, kami masih harus berhati-hati apabila bertemu guru kami yang tidak bertugas mengajar di hari itu dan masih berdiri diluar pagar sekolah menunggu angkutan umum. Mereka semua telah pulang, untungnya. Tentu saja, tidak ada yang mau berlama-lama berdiri di bawah terik panas matahari untuk menunggu angkutan pulang, terlebih lagi jika kamu sudah tua dan capek menghadapi kumpulan pengacau kecil seharian. Kami langsung berlari menyusuri pagar menuju Louise dan berharap bisa bertemu anak pemilik toko yang tampan dan pandai bermain gitar itu. Kami memanggil dia Taf, karena dari informasi yang kudengar saat aku hendak membayar barang yang kubeli di tokonya saat ibunya yang bertugas sebagai kasir memanggilnya begitu (Raisa sangat senang saat mengetahui namanya). Sayangnya, kami tidak berhasil melihat dia hari itu, dan akhirnya memutuskan untuk pergi membaca majalah di perpustakaan daerah. Aku tidak begitu ingat kenapa, apakah kami bosan dengan majalah-majalah yang hampir semua telah kami baca atau karena ada alasan lain, tapi aku tidak ingat kami benar-benar membaca saat itu. Aku ingat kami sedang duduk, dengan masih menggunakan seragam kami, diatas aspal gerbang keluar perpustakaan yang langsung terhubung dengan jalan utama tempat kami biasa menunggu angkutan umum. Kami mengobrolkan hal-hal random dan juga kemungkinan-kemungkinan apa saja yang bisa membuat kami ketahuan saat membolos, apa yang akan teman-teman kami katakan tentang 'keberanian' kami, dan lainnya. Tiba-tiba Raisa bangkit berdiri dan menyuruhku melakukan hal yang sama. Aku mengikutinya. Kami berjalan masuk ke arah perpustakaan. Setelah sampai sedikit ke arah dalam, dia memberitahuku kalau tadi dia melihat ada orang yang menyorotkan kamera ke arah kami dan dia langsung terpikir kalau itu adalah wartawan koran lokal yang sedang mencoba mencari bahan berita tentang kenakalan pelajar, yang salah satunya adalah membolos. Kami lansung dengan sedikit histeris membayangkan seandainya gambar kami membolos benar-benar dimasukkan sebagai berita koran. Itu akan sangat memalukan. Terakhir kali ada berita mengenai pelajar yang tawuran dan saling melempar batu. Kami melihat gambar yang dicetak di salah satu koran tanpa diedit. Bayangkan wajahmu terpampang di koran sedang tawuran dengan jelas, sangat memalukan. Seluruh penduduk kota melihatmu di koran sedang melempari orang lain dengan batu. Kamu jelas-jelas tidak menginginkan itu terjadi. Kami berharap mereka tidak berhasil mendapatkan gambar kami dan untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan buruk lainnya kami pun memutuskan untuk pulang. Hari itu kami berdua menghidupi masa remaja kami yang tidak ingin kami habiskan dengan membosankan. Ini bukan sesuatu yang patut dibanggakan, tapi paling tidak kami memiliki momen untuk diingat bersama. Persahabatan sepatutnya membawamu ke arah yang lebih baik, aku tahu itu. Tapi sebagai anak umur belasan tahun, aku tentu saja tidak peduli. Aku tidak mendorong siapapun yang masih berstatus pelajar untuk membolos, sekolah itu penting. Aku hanya ingin kalian ingat bahwa saat kalian hidup dengan membosankan tanpa berani mengambil resiko kalian tidak akan bisa memiliki momen-momen untuk diingat. Tapi janganlah meniruku, kalian ciptakanlah momen-momen keberhasilan masa muda kalian. Teruslah menuai prestasi demi prestasi. Buatlah masa muda yang bisa kalian banggakan di saat kalian sudah dewasa. Terus kembangkan dan gali potensi-potensi luar biasa dari diri kalian. Tuhan menciptakan kalian dengan luar biasa untuk tujuan yang luar biasa. Mulailah mencari tahu apa tujuan itu. Bangunlah pergaulan yang bisa mendukung kalian mencapai tujuan itu, dan tentu saja mendekatlah pada Pencetus tujuan itu, yaitu Tuhan sendiri. 

Aku harap tulisan ini tidak membosankan, aku menuliskannya (mengetik lebih tepatnya) dengan penuh semangat dan harapan bahwa kalian yang membaca akan menyukainya dan mau menantikan tulisan-tulisanku selanjutnya. 
Terimakasih sudah mau meluangkan waktu kalian untuk membacanya. Kritik dan saran selalu akan dengan senang aku terima. 
Hwaiting!!