Sunday 17 May 2015

Worst Love Confession

"Apa ini"?, dia bertanya sambil memegang paper bag kecil berwarna coklat yang baru saja kuserahkan padanya.
"Hanya coklat. Coklat yang bodoh!", jawabku sembari membalikkan tubuh dan terburu-buru menutup pagar lalu langsung menuju kamar kostku.

Hari ini sekali lagi aku menyatakan cinta dan melepaskan cinta. Aku pernah melakukannya sebelumnya, karena lelaki yang kusukai itu begitu bijak di mataku hingga aku percaya saja saat dia bilang "Kamu harus jujur untuk bisa menuntaskan masalahmu". Aku menghindari dia begitu lama dan bersikap begitu cuek padanya karena ingin melupakan perasaan sayangku padanya yang kutahu pasti tidak akan terbalaskan. Dia terusik dengan sikapku dan akhirnya memaksaku untuk jujur sebenarnya apa yang membuatku begitu menghindarinya. Dan aku melakukan apa yang dia pinta. Aku mengaku padanya. Jawaban atas pengakuanku pun sama seperti yang telah kuduga. Dia menolakku dengan halus. Sakit tapi sedikit saja. Besoknya aku sudah bisa bersikap biasa padanya dan perasaanku untuknya juga berangsur hilang. Metode ini akhirnya kugunakan lagi. Saat aku jatuh cinta lagi. Cinta yang tak akan terbalas lagi. 

"Apa dia memang suka menyendiri seperti itu?", aku bertanya pada Halim, yang duduk di sebelahku. Mataku mengarah pada seorang anak lelaki yang sedang duduk sendirian di depan drumset. Beberapa peserta latihan pertunjukan musik tahunan Sekolah Musik Melody tengah berseliweran berdua atau dalam grup tapi anak lelaki yang kutanyakan pada Halim tengah duduk sendirian dan mengutak-atik handphone-nya sedari tadi. Hari ini adalah hari kelima kami latihan bersama di aula sekolah, dan kelima kalinya aku melihat dia selalu sendirian sepanjang break latihan. Aku yang penasaran akhirnya bertanya pada Halim tentang sikapnya itu. 
"Oh, gak sih. Kalau udah kenal lumayan banyak ngobrol kok", Halim menjawab seakan dia pernah mengobrol akrab dengan anak itu. 
"Masa? Kamu emang dekat sama dia?", selidikku. 
"Yah kan aku sekelas sama dia di kelas drum Sy. Emang agak pendiam anaknya, tapi kalo udah kenal bisa ngobrol enak juga. Kenapa sih nanyain dia?", Halim menaikkan alisnya menandakan dia curiga dengan rasa penasaranku tentang anak itu. 
"Gak, habisnya dia selalu sendirian tiap aku liat. Penasaran aja kenapa. Kasian liatnya. Kek gak punya teman gitu. Kalo dia diasingkan atau lainnya gak tega aku. Siapa namanya?", aku jujur pada Halim tentang alasanku bertanya karena memang aku paling tidak tega melihat orang ditinggal sendirian.
"Darel. Samperin dah kalo gitu, ajakin ngobrol. Baik kok". Halim melangkah mendekati anak itu lalu mengulurkan tangannya untuk melakukan tos khas anak lelaki saat bertemu. 
"Apa kabar Rel? Makin mantap aja main drumnya". Aku yang berdiri di samping Halim pun tersenyum dan mengulurkan tangan hendak berkenalan. 
"Hi, aku Sisy, dari tim choir. Aku teman dan tetangganya Halim. Nice meeting you", aku yang memang sudah terbiasa mengajak orang lain berkenalan tidak menunggu Halim memperkenalkanku lagi padanya. Dia menyambut uluran tanganku dan tersenyum simpul. 
"Hi, aku Darel. Nice meeting you as well", jawabnya dan saat dia tersenyum sedikit lebih lebar hingga barisan giginya terlihat, aku menyadari kalau gigi taringnya begitu menonjol hingga dia terlihat seperti drakula yang tersenyum jahat sebelum menggigit mangsanya.
"Bagus kamu main drumnya. Lebih bagus dari Halim", ledekku hingga Halim memasang tampang cemberut tanpa membalas karena dia tahu aku benar. 
"Oh, makasih. Halim juga lumayan kok", jawabnya pendek. 
"Ke kantin yuk, masih lumayan lama break-nya. Haus aku."
Aku yang menangkap keengganan Darel mengikuti ajakanku memberi isyarat pada Halim untuk mendorongnya bangun, saat dia telah sepenuhnya berdiri kami berduapun sedikit mendorongnya dari belakang berjalan ke arah kantin. Entah kenapa aku tertarik mengusik Darel dan kesendiriannya. Pikirku mungkin karena dia terlihat menyedihkan dan tidak punya teman hingga aku ingin bersikap sok pahlawan dan sukarela berteman dengannya, lagipula aku memang suka berteman dengan siapa saja jadi kenapa tidak. 

Kantin telah ramai dengan murid-murid lain, beberapa telah duduk manis menikmati makan siang mereka sambil sesekali berbincang dengan teman semeja makan mereka, beberapa masih ada yang berdiri dan sibuk memilih menu yang mereka sukai. Uniknya tidak ada satupun penjual di kantin, semua murid melayani diri mereka masing-masing. Kantin sekolahku memang menggunakan sistem Kantin Jujur, para murid diberikan kebebasan untuk melayani diri mereka sendiri dan lalu membayar sesuai menu yang mereka ambil. Berbagai jenis makanan dan camilan digelar di sebuah meja panjang lengkap dengan price tag masing-masing, minuman berbagai jenis tersedia dalam beberapa kotak es. Di kedua ujung meja terdapat dua buah kotak untuk para murid bisa menaruh uang bayaran mereka. Terlihat juga di beberapa sudut kantin tergantung papan-papan berisi tulisan nasehat agar para murid mau bersikap jujur. Aku menyukai sistem ini, walaupun tampak berisiko tapi sangat mendidik. Kita dilatih untuk mau bersikap jujur pada diri sendiri tanpa diawasi, dengan begitu ada kesadaran dari dalam diri kita yang tumbuh. Kami bertiga pun sibuk memilih menu yang tiap harinya selalu berganti. Darel kulihat hanya mengambil sepiring nasi goreng keju dan beberapa lauk, sekotak minuman teh lalu langsung membayar. Dia berjalan menuju meja kosong di pojok, duduk dan mulai makan. 
"Halim, udahan dong milihnya. Udah hampir penuh tuh piring kamu", aku mengomeli Halim yang belum juga selesai mengambil makanannya. 
"Aduhh, sayang Sy. Menu kan ganti-ganti terus. Aku belum nyicipin ini itu, besok gak bisa lagi dong. Mumpung ada cobain aja, kalo bisa semua. Hehe".
Halim tak menggubris omelanku dan tetap sibuk mengambil satu sendok dari tiap menu sambil mencoba menyediakan tempat bagi menu berikut di piringnya yang sudah hampir tak muat. Aku yang telah sangat laparpun meninggalkannya dan berjalan menuju meja yang telah ditempati Darel. Tampak dia sudah hampir menghabiskan makan siangnya dan tengah berhenti sebentar untuk minum. 
"Halim tuh emang paling suka lama milih menu. Tiap kali sama dia ke kantin pasti aku selesai duluan makan. Udah hafal aku", omelanku tentang Halim hanya disambut anggukan Darel. 
Aduh, pelit ngomong banget sih anak ini, pikirku.
"Enak nasi gorengnya?", aku kembali mencoba membuka percakapan.
"Enak kok", lagi lagi dia menjawab pendek.
 Mendengar respon yang serba pendek membuatku mati kutu dan akhirnya memutuskan untuk menikmati makan siangku saja dulu. Nanti saja ngobrolnya habis makan, kataku dalam hati. 
Halim datang dengan sepiring penuh makanan dan langsung mulai mencicipi tiap menu yang ada di piringnya. Sesekali dia mengangguk-angguk sambil mengunyah makanan di mulutnya tanda dia menyukai rasanya. Aku dan Darel yang telah selesai sedari tadi hanya memperhatikan dia, saling melihat lalu tertawa kecil. Gigi taringnya terlihat lagi. 
"Bagaimana rasanya, Chef Halim? Silahkan komentarnya", botol minumanku seketika berubah fungsi menjadi microphone untuk mewawancarai "Chef Halim". Halim mengunyah lebih cepat agar bisa menjawab pertanyaanku diikuti gerakan tangan yang mengisyaratkanku untuk menunggu sebentar sampai dia selesai menelan makanan di mulutnya. 
"Maknyosss....rrkkkkkkk", jawab Halim yang juga mengeluarkan suara seperti gemuruh tanda dia sudah kenyang. 
Tawa kami berduapun pecah melihat tingkah Halim. Suara tawa Darel terdengar seperti anak bayi. Dia terlihat senang dan aura gelap kesendiriannya seakan tidak pernah ada. Kami bertigapun bisa mengobrol banyak dengan lebih santai setelah tertawa bersama tadi. Kami berbicara banyak hal mulai dari Kantin Jujur, seandainya kantin gedung DPR atau DPRD atau gedung pemerintah manapun yang memiliki kantin juga memakai sistem yang sama mungkin saja bisa menumbuhkan kesadaran para coruptor-wannabe untuk tidak terus-terusan menguras uang negara, tentang akan sesukses apa pertunjukan musik tahunan sekolah kali ini, tentang orang-orang dewasa yang mencemooh tingkah laku anak-anak SD yang dengan gamblangnya beromantis-romantisan di social media tanpa sadar kalau mereka juga ikut ambil andil dalam perubahan psikologis anak-anak kecil dalam urusan cinta, anak-anak tidak punya kuasa untuk melakukan sesuatu atau mengambil keputusan tanpa bantuan orang dewasa, artis-artis di bawah umur yang melakoni peran untuk saling menyukai di sinetron atau yang menyanyikan lagu cinta atau yang diwawancarai di acara infotainmen tentang gosip kedekatannya dengan artis beda lawan jenis lainnya tentu saja memiliki orang dewasa di sekitarnya untuk mengingatkannya bahwa dia belum cukup umur untuk memikirkan itu semua tapi sepertinya mereka hanya memikirkan bagaimana bisa mendongkrak ketenaran si artis dengan berita-berita kacangan itu dan tidak terlalu mempedulikan efek sampingnya pada anak-anak kecil lain yang menonton dan cenderung meniru. Kalau saja bel sekolah tanda waktu istirahat telah selesai tidak berbunyi, kami bertiga bisa saja menghabiskan sepanjang hari itu di kantin untuk mendiskusikan dan memperdebatkan lebih banyak hal. Darel memang tidak sependiam kelihatannya, Halim berkata benar, dia bisa jadi teman mengobrol yang lumayan menyenangkan saat kalian sudah saling mengenal. Juga dia bukan tipe yang pasif dalam obrolan dua arah, dia bahkan tidak segan berkomentar atau mendebat pendapatmu akan sesuatu. Aku senang menghabiskan break-time bersamanya dan Halim hari ini dan berharap kami bisa selalu melakukannya. 

to be continued.....


No comments:

Post a Comment