Saturday 21 March 2015

Dia sebenarnya menyayangi aku, aku hanya tidak tahu saja

Christin adalah nama kakak perempuanku dan satu-satunya kakakku (tentu saja, karena aku anak kedua). Dia lahir dua tahun lebih awal dariku pada 7 Agustus 1990 yang berarti dia berzodiak Leo. Aku tidak percaya akan zodiak tapi mengenal kakakku dan zodiak yang dia miliki berlambang singa itu membuat sebuah pengecualian. Yes, bagaimana tidak? Dia seorang pemarah dan pemangsa. Persis seperti seekor singa. Emosinya seringkali meletup seperti bom berskala kecil yang tidak mematikan tapi cukup bisa membuatmu terluka. Kalau teroris seringkali memberi muatan tajam pada bom yang dibuatnya agar saat meledak benda-benda itu akan melukai orang di sekitarnya maka yang harus dihindari saat Christin "meledak" adalah kata-kata tajam yang keluar dari mulutnya. Hahahaha. Butuh bertahun-tahun bagiku, dan tentu saja menjadi lebih sangat mudah bagiku setelah aku menerima Yesus, untuk menahan kesabaran agar tidak bertengkar sengit dengannya karena tersinggung setelah mendengar kata-katanya. Yah, pada dasarnya dia tidak akan begitu marah kalau kami adik-adiknya patuh pada dia. Tapi, seperti yang semua orang tahu, tidak semua adik bisa berlaku manis. Memiliki satu adik keras kepala sudah bisa membuatmu pening, apalagi saat kau memiliki enam dari mereka. Orang tua kami selalu meminta dia menjaga kami saat mereka akan pergi. Titin atau Empeng (begitu kami memanggilnya karena porsi tubuh kecil dan kurusnya) akan bersikap memerintah sebagaimana seorang komandan yang diberikan mandat oleh jenderal untuk memimpin prajurit dan menjagai markas selama mereka tidak ada. Masalahnya adalah para prajurit tidak suka menuruti komandan dan cenderung melawan. Komandan pun marah karena merasa tidak dihargai (yang adalah wajar) dan mulai mengamuk. Dia berpikir saat dia mengamuk para prajurit akan mulai mendengarkan dan dia benar. Para prajurit (dengan bermalas-malasan) lebih memilih melakukan perintah komandan daripada mendengarkan ocehannya. Tugas yang diberikan sebenarnya cukup mudah dan memang adalah tugas harian kami, tapi sejak kapan anak-anak suka mengerjakan tugas rumah. Aku sangat ingat bagaimana perasaanku setiap saat orangtua kami mulai bersiap-siap akan pergi. Layaknya perasaan anak kecil yang menanti datangnya hari ulang tahunnya dan tidak sabar ingin menerima dan membuka kadonya. Kado yang kutunggu adalah "kebebasan" saat orangtuaku pergi. Kebebasan tidur-tiduran, kebebasan menonton tivi, kebebasan mengobrol dengan temanku di telepon, kebebasan membaca komik atau novel. kebebasan melanjutkan menonton film di komputer dan lainnya. Tapi, tentu saja mamaku tidak akan pergi tanpa meninggalkan mandat apapun. Tiap kami diberikan tugas untuk dikerjakan selama mereka pergi dan Titin akan jadi pengawasnya. Jadi, demi mencicipi sedikit kebebasan yang kami inginkan, kami pasti akan melawan perintah sang "komandan". 

Hingga poin ini aku berhenti sebentar untuk memikirkan alasan kenapa aku ingin membuat postingan tentang kakakku. Terlepas dari fakta bahwa aku merindukannya dan beberapa jam yang lalu kami baru saja saling mengirimkan pesan BBM yang cukup panjang, aku juga berusaha mengingat momen-momen yang pernah kuhabiskan dengannya. Aku berusaha menggali bagian otakku yang berfungsi menyimpan momen-momen yang kuhabiskan bersama anggota keluargaku khususnya bersama Titin (seandainya aku punya folder khusus untuk menyimpan itu semua) dan sayangnya aku tidak memiliki atau tidak terlalu mengingat banyak hal tentang itu. Itu membuatku sadar betapa sedikit waktu yang kuhabiskan bersama dia dan aku menyesalinya. Aku memang menghabiskan 20 tahun hidupku tinggal di bawah atap yang sama dengan dia, aku berbagi oksigen dengan dia di kamar yang sama, kami memiliki ruang ganti pakaian yang sama, kami saling bertukar pakaian atau celana (dia sering memarahiku karena membuat longgar pakaiannya atau memakainya tanpa ijin), kami menonton tivi di ruang keluarga yang sama, dan seterusnya. Lalu, kenapa aku hanya mengingat sedikit hal berkesan tentang dirinya? Sejenak aku berpikir dan lalu aku mengerti. Kami tinggal bersama bahkan tumbuh bersama tapi tidak pernah benar-benar berusaha untuk saling mengenal satu sama lain. Lebih tepatnya kami tidak pernah ingin saling mencampuri kehidupan pribadi masing-masing, terutama saat kami mulai beranjak dewasa dan memiliki teman kami masing-masing. Contohnya, aku tahu dia memiliki pacar (dulu) tapi aku tidak pernah bertanya bagaimana mereka bertemu, kenapa dia menyukainya, kenapa dia marah padanya, kenapa dia menangis karenanya, kenapa dia membanting handphone saat berbicara dengannya, dan masih banyak kenapa yang lain. Lalu, kenapa aku tidak bertanya? Well, aku tidak melakukannya karena menurutku (pada waktu itu) itu bukan urusanku. Pemikiran ini seharusnya hanya ada saat aku melihat orang lain mengalaminya, tapi jika itu adalah saudara kandungku dalam hal ini Titin semestinya aku tidak boleh berpikir begitu, bukan? Maksudku dia saudaraku, kami berbagi darah yang sama, seharusnya aku lebih peduli dan tidak ragu mengusik kehidupan pribadinya. Bagaimana bisa aku begitu tidak peduli? Jawabannya adalah karena aku tidak begitu menyayanginya. Karena bagiku dia adalah seorang pemarah yang menyebalkan. Karena yang kuingat dari sosoknya hanyalah dia yang sedang memarahi dan mengomeli aku dan adikku yang lain. Aku tidak menyukainya dan menyalahkannya karena begitu emosian dan membuatku tidak suka menghabiskan waktu bersamanya. Tapi itu aku. Apakah aku pernah tahu atau bahkan memikirkan perasaannya? Aku sedang melakukannya sekarang. Aku ingat dia pernah begitu terlihat depresi dan marah saat kami tidak mau mendengarkannya. Dia terlihat sangat sedih. Aku tidak begitu peduli saat itu karena mempertahankan keegoisanku untuk bisa "bebas". Sekarang saat aku punya banyak waktu untuk memikirkannya aku menyesal. Seharusnya aku bisa menjadi adik yang lebih penurut dan tidak menyusahkannya. Dia sudah berusaha keras memikul tanggung jawab sebagai seorang kakak untuk menjagai kami adik-adiknya. Apakah kami pernah menghargai itu? Jarang sekali. Apakah aku pernah mengucapkan terima kasih karena dia sudah membantu mama merawatku saat aku masih bayi? Apakah pernah aku berterimakasih padanya karena telah mengipasi aku dan adikku saat kami tidur dan cuaca begitu panas? Apakah aku pernah memujinya karena tampil begitu cantik saat kami hendak ke gereja bersama? Apakah aku pernah berterimakasih karena dia merelakanku membuat longgar pakaiannya? Apakah aku pernah dengan tulus berterimakasih padanya karena telah berusaha sebisanya menjadi kakak yang baik? Tidak. Aku tidak pernah. Aku hanya terlalu egois dan tidak pernah melakukannya. Aku tidak menyukai diriku yang seperti itu. Memikirkan diriku yang begitu egois membuatku muak. Seharusnya kami berdua menghabiskan lebih banyak waktu berdua. Kami bisa menjadi partners in crime yang luar biasa. Dan, sekarang saat aku tinggal jauh darinya aku baru menyadari betapa aku merindukan omelannya. Yes, dia memang menyebalkan tapi dia menyayangiku, aku hanya tidak tahu saja.